Senin, 10 Juni 2013

HUKUM KHITAN BAGI LAKI DAN PEREMPUN



Hukum Khitan Bagi Laki-Laki dan Perempuan



Khitan
Selama ini yang kita tahu bahwa khitan itu adalah wajib. Padahal ada pendapat lain yang mengatakan sunat. Mana yang betul? Masalah khitan ini sebenarnya tidak ada yang istimiwa bagi umat Islam. Setiap anak laki-laki muslim pasti sudah menyiapkan diri untuk dikhitan sebelum mencapai umur akil baligh. Sebaliknya khitan adalah sesuatu yang menakutkan bagi non-Muslim. Mereka pikir dengan berkhitan, mereka akan kehilangan seluruh alat vitalnya. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tersebut.


Ulama-Ulama Yang Mengatakan Wajib
Imam Nawawi (al-Majmu’ (1/301) mengatakan bahwa jumhur atau mayoritas ulama menetapkan khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Imam Nawawi menekankan bahwa jumhur itu mewakili mazhab Syafi’i, Hanabilah dan sebagian Malikiah. Pendapat ini turut didukung oleh Syaikh Muhammad Mukhtar al-Syinqithi (ahkamul Jiraha wa Tibbiyah (168)) dan salafi Syam pimpinan al-Albani.
Kalau menurut Imam Ibn Qudamah (al-Mughni 1/85) malah lain lagi. Menurut beliau jumhur menetapkan bahwa khitan wajib bagi laki-laki tapi dianjurkan (mustahab) bagi perempuan. Imam Qudamah malah mendakwa bahwa jumhur itu mewakili sebagian Hanbilah, sebagian Maliki dan Zahiri. Pendapat Ibn Qudamah disetujui oleh Syaikh Ibn Uthaimiin.
Disini kita bisa melihat bahwa istilah jumhur (mayoritas) itu sendiri tidak sama antara Imam Ibn Qudamah dan Imam Nawawi.
Dalil-dalil yang mereka pakai untuk menyatakan bahwa khitan itu hukumnya wajib adalah sebagai berikut.
[1] Dalil dari Al’Quran
  1. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya (Al’Quran 2:124). Menurut Tafsir Ibn Abbas, khitan termasuk ujian ke atas Nabi Ibrahim dan ujian ke atas Nabi adalah dalam hal-hal yang wajib (al-Fath, 10:342).
  2. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (Al’Quran 16:123). Menurut Ibn Qayyim (Tuhfah, 101), khitan termasuk dalam ajaran Ibrahim yang wajib diikuti sehingga ada dalil yang menyatakan sebaliknya.
[2] Dalil Hadith
  1. Dari Utsaim bin Kulaib dari ayahnya dari datuknya, bahwa dia datang menemui RasuluLlah S.A.W dan berkata, “Aku telah memeluk Islam. Maka Nabi pun bersabda, “Buanglah darimu rambut-rambut kekufuran dan berkhitanlah.” [HR Ahmad, Abu Daud dan dinilai Hasan oleh al-Albani]. Hadith ini dinilai dha’if oleh manhaj mutaqaddimin.
  2. Dari az-Zuhri, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa masuk Islam, maka berkhitanlah walaupun sudah dewasa.” Komentar Ibn Qayyim yang memuatkan hadith di atas dalam Tuhfah, berkata walaupun hadith itu dha’if, tapi ia dapat dijadikan penguat dalil.
[3] Atsar Salaf
  1. Kata Ibn Abbas, ” al-Aqlaf (orang belum khitan) tidak diterima solatnya dan tidak dimakan sembelihannya.” (Ibn Qayyim, Tuhfah) dalam versi Ibn Hajar “Tidak diterima syahadah, solat dan sembelihan si Aqlaf (org belum khitan)”.
Itulah dalil-dalil yang dipegang oleh mayoritas fuqaha yang menyatakan khitan itu wajib.

Ulama-Ulama Yang Mengatakan Sunnat
Pendapat ini didukung oleh Hanafiah dan Imam Malik. Syeikh al-Qardhawi menyetujui pendapat ini dan berkata, “Khitan bagi lelaki cuma sunnah syi’ariyah atau sunnah yang membawa syi’ar Islam yang harus ditegakkan. Ini juga pendapat al-Syaukani. (Fiqh Thaharah)

[1] Dalil Hadith
  1. Dari Abu Hurayrah ra: “Perkara fitrah ada lima: berkhitan….” (Sahih Bukhari-Muslim). Oleh kerana khitan dibariskan sekali dengan sunan alfitrah yang lain, maka hukumnya adalah sunat juga. (al-Nayl oleh Syaukani).
  2. “Khitan itu sunnah bagi kaum lelaki dan kehormatan bagi kaum wanita.” (HR Ahmad, dinilai dha’if oleh mutaqaddimin dan mutaakhirin seperti al-Albani). Jika hadith ini sahih barulah isu hukum wajib dan sunat dapat diselesaikan secara muktamad. Sayangnya hadith yang begini jelas adalah dha’if.
Jadi pendapat mana yang lebih rajih? Wajib atau sunat?
Pendapat paling kuat adalah sunat seperti yang ditarjih oleh al-Qardhawi dalam Fiqh Thaharah. Ini kerana millat Ibrahim itu tidak ditujukan kepada kita. Sedangkan hadith-hadith sahih dalam Bukhari-Muslim lebih menjurus kepada hukum sunnat bukan wajib. Dengan itu pendapat minoriti yaitu Hanafi lebih diungguli.
Walaupun syeikh Al-Qardhawi berpendapat sunnah, tapi menurut beliau khitan merupakan sunnah yang harus ditegakkan untuk membedakan antara Muslim dan non-Muslim. Ini beliau tegaskan dalam buku beliau yang berjudul Fiqh Thaharah hal. 171:
Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat khitan adalah sunnah dikalangan laki-laki bukan wajib. Namun ia termasuk sunnah fitrah dan salah satu syiar Islam. Maka jika ada satu negeri yang dengan sengaja meninggalkannya, orang-orang di tempat itu wajib untuk diperangi oleh imam kaum muslimin. Sebagaimana jika ada sebuah negeri yang dengan sengaja meninggalkan adzan. Yang mereka maksud adalah sunnah-sunnah syiar yang dengannya kaum muslimin berbeda dengan kaum lain.
Beliau mengatakan bahwa khitan sebagai sunnah syi’ariyah sebenarnya lebih mendekati wajib dimana orang yang meninggalkannya harus diperangi.
Kalau kita perhatikan, kedua-dua pendapat itupun menyuruh untuk bersunat. Cuma dalam implementasinya agak sedikit berbeda terutama kalau dakwah yang berhubungan dengan non-Muslim. Bagi non-Muslim yang tertarik masuk Islam, menurut pendapat yang mengatakan wajib sunat, non-Muslim itu harus sunat dulu. Ini yang menyebabkan mereka ketakutan, dan takut masuk Islam.
Tapi kalau memakai pendapat bahwa sunat itu adalah sunnah yang harus ditegakkan tapi bukan wajib, maka non-Muslim itu tidak dipaksa untuk sunat dulu sebelum masuk Islam. Berikan waktu baginya untuk belajar Islam terlebih dahulu. Pada suatu saat, setelah mengetahui hukum khitan dan tata cara khitan yang modern yang tidak menyakitkan, maka non-Muslim yang telah menjadi Muslim itupun tergerak untuk berkhitan.
Jadi menurut Syeikh Dr. Yusuf al-Qhardawi lagi, bahwa pandangan yang mengatakan bahwa khitan itu wajib bisa jadi merupakan pendapat yang terlalu keras bagi orang-orang yang masuk Islam. Beliau menceritakan pembicarannya dengan seorang mentri agama Indonesia dulunya:
Mentri Agama Republik Indonesia pernah mengatakan kepada saya, saat saya untuk pertama kalinya mengadakan kunjungan ke negeri itu pada tahun tujuh puluhan di abad dua puluh; Sesungguhnya ada banyak suku di Indonesia yang akan masuk Islam. Kemudian setelah pemimpin mereka datang menemui pimpinan agama Islam untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam ritual agama Islam agar mereka bisa masuk dalam agama Islam. Maka jawaban yang diberikan oleh pemimpin agama Islam saat itu tak lain adalah dengan mengatakan: Hal pertama kali yang harus dilakukan adalah hendaknya kalian semua harus dikhitan! hasilnya mereka sangat ketakutan akan terjadinya penyunatan massal berdarah dan mereka berpaling dari Islam. Akibatnya kaum muslimin mengalami kerugian yang besar dan mereka tetap menganut paham animisme. Ini karena madzhab yang mereka pakai adalah madzhab Imam Asy-Syafi’i, satu madzhab yang keras dalam masalah khitan. (Fiqh Taharah, hal. 174)
Adakah riwayat sahih yang menerangkan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat senior lain yang bersunat?
Tidak ada riwayat yg sahih. Cuma Ibn Qayyim membuat ulasan, bahwa ada tiga riwayat mengenai kapankah Nabi S.A.W dikhitan, ada yang mengatakan beliau lahir dalam keadaan dikhitankan, ada yang mengatakan baginda dikhitankan oleh Malaikat sebelum Isra’-Mi’ra dan ada juga yang mengatakan baginda dikhitan oleh Abdul Muttalib menurut kebiasaan arab yg mengamalkan ajaran Nabi Ibrahim-Ismail. Semua riwayat itu bermasalah (Tuhfah).
Apakah Umur Yang Sesuai Untuk Berkhitan?
Sebenarnya ada tiga waktu berlainan untuk berkhitan:
  1. Waktu wajib – yaitu sebelum masuk umur baligh (Ibn al-Qayyim, Tuhfah-110).
  2. Waktu yg dianjurkan – yaitu ketika usia kanak-kanak dianjurkan untuk solat (7 tahun) atau disebut juga waktu itsghar (Tuhfah-112).
  3. Waktu mubah – yaitu waktu selain yg disebutkan di atas.
Berdasarkan pembagian di atas, maka khitan pada usia 2-3 bulan dibolehkan. Bagaimana dengan khitan pada hari ke 7?
Khitan pada hari ke 7 tidak sahih hadith-hadith nya (Imam al-Albani, Tamam al-Minnah, 67-69). Walaupun begitu Ibn Taymiyah pernah berfatwa bahwa syari’at Ibrahim as melakukan khitan pada usia 7 hari, maka kita boleh mengikuti sunnah Ibrahim yaitu khitan pada usia bayi yang masih kecil.
Jadi kesimpulannya adalah umur untuk berkhitan adalah umum yaitu sebelum baligh dan tidak dikhususkan secara khusus seperti syari’at Yahudi yaitu pada hari ke 7.
Keuntungan Khitan
Seiykh al-Qardhawi berkata, di antara fiqh almaqosyid (kebaikan) khitan lelaki adalah:
  • mencegah kotoran dan tempat pembiakan kuman pada zakar
  • terhindarnya zakar dari terkena penyakit kelamin seperti sifilis
  • quluf atau foreskin zakar akan mudah mengalami radang atau melecet
  • zakar akan kurang risiko kepada penyakit zakar seperti pembengkakan atau kanker
  • memaksimumkan kepuasan seks ketika jima’ (hubungan seks) (Fiqh Taharah, 172)
Amankan Berkhitan Ketika Masih Bayi?
Khitan waktu bayi masih berusia beberapa bulan terbukti tidak menyakitkan bayi tersebut, karena pensarafan belum terbentuk dengan sempurna di sekitar zakar & kulit zakar. Buktinya, bayi tidak dapat mengontrol kencing mereka. Lantaran itu, prosedur khitan sewaktu awal bayi dilakukan tanpa memerlukan bius kerana ia tidak menyakitkan bayi tersebut. Ini berbeda dengan kanak-kanak yang telah besar. Maka berkhitan awal terdapat kebaikannya seperti yang disarankan oleh para dokter.
Ada proposal yang dibuat oleh pakar psikologi bahawa kanak-kanak yang berkhitan lebih awal, kurang cenderung untuk untuk terlibat dalam masturbasi dan melihat gambar porno. Dia memberi alasan kanak-kanak yang berkhitan ketika bayi tidak melihat ‘transformasi’ zakarnya, lantas kurang bereksperimentasi atay berfantasi dengannya.


Pengertian Khitan Perempuan

Khitan perempuan adalah terjemahan dari bahasa Arab ختان الأنثى atau ختان البنات  ( khitan anak perempuan).
Dan dikatakan juga خفض البنات ( khitan perempuan menurunkan kepekaan alat kelamin perempuan). Karena dengan mengkhitankan anak perempuan, berarti kepekaan alat kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga libido (kekuatan seksualnya) dimasa remaja dapat terkendalikan.
Tetapi Al-Mawardhy merumuskan definisi khitan perempuan sebagai berikut:

ختان الأنثى قطع الجلدة الّتى تكون فى اعل العضو كالنّوات اوكعرف الدّيك, والواجب قطع الجلدة المستعلية منه دون استئصاله.

Artinya:
“ khitan perempuan adalah memotong kulit yang paling atas pada alat kelamin yng berbentuk seperti biji-bijian, atau bagaikan jengger ayam jago. Dan yang menjadi kewajiban adalah memotoong kulit bagian atas alat tersebut dengan tidak melepaskan potongannya”.
Dari definisi khitan perempuan tersebut, dapat ditarik pemahaman bahwa syarat utama dalam khitan perempuan adalah cukup dengan memotong sedikit alat kelamin tersebut (clitoris) pada definisi di atas sampai berdarah, dan tidak perlu membuangnya.

Tata cara pelaksanaan khitan perempuan

Berbagai macam cara melaksanakan khitan perempuan disetiap daerah dan suku diseluruh Indonesia, yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan cara pelaksanaanya yang telah ditempuh oleh para sahabat nabi; yaitu memotong sedikit alat kelamin tertentu sampai berdarah. Dimasyarakat Jawa dan Madura misalnya khitan perempuan ketika masih bayi, yang dilakukan oleh Dukun atau Bidan, ketika anak itu berumur 7-40 hari. Tetapi masyarakat sulawesi mempunyai cara lain: yaitu khitan perempuan bersamaan waktunya dengan upacara khataman Al-Qur’an. Dan yang bertugas menghitankan adalah dukun, dan juga biasanya guru yang pernah mengajarkan mengaji sampai tamat.

Hukum Khitan Perempuan

Sebenarnya, ajaran khitan adalah warisan dari ajaran Nabi Ibrahim AS yang turun temurun, dianut oleh ummat-ummat sesudahnya sampai dikuatkan lagi dalam ajaran Islam, sehingga menjadi ajaran yang harus dianut oleh ummat Islam. Keterangan tentang ajaran khitan yang bersumber dari Nabi Ibrahim, dikemikakan dalam beberapa riwayat, yaitu:

وَرُوِىَ اَنَّ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ اِخْتَتَنَ بِا لْقُدُوْمِ.

Artinya:
“dan diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim AS dikhitan dengan (memakai) kapak.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kata بالقدوم disini bukan dimaksudkan kapak, tetapi nama suatu desa yang berada di wilayah negeri Syam. Maka desa itulah tempat Nabi Ibarahim Dikhitan. Karena perkara khitanan termasuk salah satu dari beberapa ajaran Nabi Ibrahim, maka hal itu diterapkan pula kepad Anaknya yang bernama ishaq dan ismail, sebagaiman riwayat Mak-huul yang telah dikemukakan oleh ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan:
جَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ اِبْنَهُ اِسْاقَ لِسَبْعَةِ اَيَّامٍ وَخَتَنَ اِسْمَاعِيْلَ لِثَلاَثِ عَشَرَسَنَةً.
Artinya:
“Nabi Ibrahim mengkhitankan anaknya (yang bernama) ishaq ketika berumur 7hari, dan mengkhitankan Ismail ketika berumur 13 tahun”.
Pendapat  Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan wajib hukumnya menghitankan anak laki-laki. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Husnain Muhammad Makhluuf yang mengatakan:

وَاِنَّ خِتَانَ الزَّكَرِ وَاجِبٌ شَرْعًا, وَهُوَشِعَارُ اْلمُسْلِمِيْنَ, وَفِى مِلَّةِ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ, وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ وَاْلحَنَابِلَةِ.

Artinya:
“dan sesungguhnya khitanan anak laki-laki, diwajibkan menurut syara’ (agama), karena termasuk syi’ar islam dan ikutan kepada ajaran Nabi Ibrahim AS hal ini termasuk penetapan Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah.
 Tentang wajibnya khitanan laki-laki, berdasarkan pada sebuah ayat yang berbunyi:

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٩٥)

 Artinya:
“Katakanlah: benarlah (apa yang di firmankan )Allah. Mak ikutilah agama ibrahim yang lurus, bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”.
Maksud perintah (kewajiban) mengikuti agama Nabi ibrahim pada ayat tersebut adalah melaksanakan seluruh ajarannya, termasuk di dalamnya khitanan. Maka ayat ini termasuk dasar kewajibannya khitanan bagi laki-laki dalam agama islam. Kalau status hukum tentang khitanan laki -laki tidak di sepakati oleh Ulama Mazhab beserta pengikut- pengikutnya, maka terhadap khitanan perempuan juga demikian halnya.
Mengenai status hukum khitan perempuan yang di tetapkan oleh Madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah sebagai sunnat itulah yang disetujui penulis, dengan berdsrkan sebuah hadist yang berbunyi:

اَنَّ اَمْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبَىُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَنْهَكِى فَاِنَّ

Atinya:
“Bahwasanya seorang perempuan menghitankan di Madinah, maka Nabi SAW berkata kepadanya: janganlah engkau merusak (alat kelaminnya), karena hal itu merupakan kehormatan bagi perempuan”. H.R Abu Daud yang bersumber dari Ummi ‘Athiyah.
Maksud perkataan Nabi yang mengatakan: janganlah engkau merusak alat kelamin perempuan itu, bukan melarang mengkhitankannya, tetapi hanya perintah untuk berhati-hati ketika melaksanakan khitanan itu. Dan hadits tersebut diatas, tidak terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) Nabi SAW terhadap perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di Madinah ketika itu. Hadits ini menunjukkan sebagai dasar disunnatkannya mengkhitankan perempuan.  Riwayat lain mengatakan :

الختان سنة للرجال مكرمة للنساء

Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.`

 من أسلم فليختتن, ولو كان كبيرا.

Barangsiapa masuk Islam hendaknya berkhitan sekalipun telah dewasa

يا نساء الأنصار, إختضبن غمسا, واختفضن ولا تنهكن, واياكن وكفران النعم

Telah disebutkan diatas bahwa hanya khitanan laki-laki pun tidak disepakati oleh ulama Madzhab tentang status hukumnya. Dimana Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan wajib, sedangkan Madzhab Hanafiyah dan malikiyah menetapkan sunnat, meskipun kesemuanya mengakui bahwa perkara khitanan itu merupakan ikutan terhadap ajaran Nabi Ibarahim dan perlakuan Nabi Muhammad SAW.

Sepakat ulama Madzhab mengatakan, bahwa Nabi Muhammad SAW telah dikhitan sebelum menginjak umur remaja. Dan yang tidak disepakati oleh mereka, adalah siapa dan kapan beliau dikhitan? Berikut ini tiga macam riwayat yang berbeda versi, yaitu:
Riwayat pertama mengemukakan:

اَنَّهُ وُلِدَ مَخْتُوْنًا مَسْرُوْرً.

Artinya:
“bahwasanya dia (Muhammad) dilahirkan dengan keadaan sudah dikhitan dan dimuliakan”
Riwayat kedua mengatakan:

اَنَّ جَدَّهُ عَبْدَ اْلمُطَّلِبِ خَتَنَهُ يَوْمَ سَابَعِهِ وَصَنَعَ لَهُ مَأْدَبَهً وَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا.

Artinya:
“bahwasnya kakeknya (yang bernama) Abdul Muththalib yang menghitankannya pada hari ke-7 (dari kelahirannya), dengan membuat sajian (selamatan) untuknya, lalu memberinya nama menjadi Muhammad.
Riwayat ketiga mengatakan:

اَنَّهُ جَتَنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ شَقِّ قَلْبِهِ اْلمَلاَ ئِكَةُ عِنْدَ ظَئِرَهُ حَلِيْمَةُ.

Artinya:
“bahwasnya dia (Muhammad) dikhitan oleh Malaikat ketika dibedah dan dibersihkan dadanya diwaktu ia masih diasuh oleh Halimah.
Dapat ditegaskan bahwa khitanan laki-laki hukumnya wajib, berdasarkan beberapa keterangan diatas, disertai dengan alasan lain bahwa khitanan itu merupakan wahana untuk melakukan thaharah dari najis (hadats) yang status hukumnya wajib. Sedangkan terhadap khitan  perempuan  status hukumnya sunnat berdasarkan keterangan diatas, disertai dengan alasan bahwa tidak ada alat kelamin perempuan yang perlu dibuang untuk kepentingan thaharah, sebagaimana halya kelamin laki-laki yang harus dibuang sebagian kulitnya ketika dikhitan. Dan disunnahkan khitan perempuan agar sebagai ikutan terhadap ajaran Nabi Ibrahim bila disanggupinya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih Pak, ulasannya sangat menarik. sedikit mendapatkan pencerahan tentang hukum khitan. kebetulan Pacar saya berencana untuk menjadi mualaf, tapi keberatan jika harus melakukan khitan, menurutnya khitan merupakan pelanggaran terhadap hak seseorang untuk memutuskan masalah atas tubuhnya sendiri. sebelum membaca bahasan ini, saya sempat berfikir apakah hukum Islam sesaklek itu?!.
ternyata tidak, Islam lebih fleksible.
Akan sangat disayangkan jika banyak calon mualaf mengurungkan niatnya untuk menjadi muslim karena faktor tersebut.