Sabtu, 04 Agustus 2012
Pecinta Buku: Aqidah Ahlus Sunnah
01.27
No comments
Pecinta Buku: Aqidah Ahlus Sunnah: Buku-buku aqidah ahlussunnah yang dapat didownload Inilah Aqidah Ahls Sunnah wal Jama'ah ,A. Shihabbuddin PDF Aqidah Ahlus Sunnah, PDF ...
Pecinta Buku: Aqidah Ahlus Sunnah
01.27
No comments
Pecinta Buku: Aqidah Ahlus Sunnah: Buku-buku aqidah ahlussunnah yang dapat didownload Inilah Aqidah Ahls Sunnah wal Jama'ah ,A. Shihabbuddin PDF Aqidah Ahlus Sunnah, PDF ...
Buku cerita
01.09
No comments
Pecinta Buku: Pendekar Rajawali Sakti: By TEGUH S. 001. Iblis Lembah Tengkorak Prc doc jar txt 002. Bida...
Selasa, 31 Juli 2012
Klultum Ramadhan
23.22
No comments
Klultum Ramadhan
Mewujudkan Hakekat Taqwa
Oleh : Abd. Aziz
Agar
pencapaian peningkatan taqwa bisa kita raih dan dapat kita buktikan dalam
kehidupan sehari-hari, menjadi penting bagi kita memahami hakikat taqwa yang
sesungguhnya. Dalam bukunya Ahlur Rahmah, Syekh Thaha Abdullah
al Afifi mengutip ungkapan sahabat Nabi Muhammad saw yakni Ali bin Abi
Thalib ra tentang taqwa, yaitu:
الْخَوْفُ
مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَاْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ
الرَّحِيْلِ وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ
Takut kepada
Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dalam at tanzil
(Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas)
dengan hidup seadanya (sedikit)
Dari
ungkapan di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus ada pada diri kita
masing-masing dan ini bisa menjadi tolok ukur keberhasilan ibadah Ramadhan
kita.
Pertama, Takut
Kepada Allah. Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah rasa
takut kepada Allah swt. Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada
binatang buas yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah
swt adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa
mendatangkan murka, siksa dan azab Allah swt harus kita jauhi. Sedangkan Allah
swt sendiri harus kita dekati, inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah
(mendekatkan diri kepada Allah).
Karena itu,
orang yang takut kepada Allah swt tidak akan melakukan penyimpangan dari segala
ketentuan-Nya. Namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang melakukan kesalahanKarena
itu, orang yang takut kepada Allah swt tidak akan melakukan penyimpangan dari
segala ketentuan-Nya. Namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang
melakukan kesalahan, karenanya bila kesalahan dilakukan, dia segera bertaubat
kepada Allah swt dan meminta maaf kepada orang yang dia bersalah kepadanya,
bahkan bila ada hak orang lain yang diambilnya, maka dia mau mengembalikannya.
Yang lebih hebat lagi, bila kesalahan yang dilakukan ada jenis hukumannya, maka
iapun bersedia dihukum bahkan meminta dihukum sehingga ia tidak menghindar dari
hukuman. Allah swt berfirman:
وَسَارِعُوا
إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾
Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali
Imran [3]:133).
Sebagai
contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat
menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang
kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu
karena kehamilan yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui
anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang
menyebabkan kematiannya, saat Rasul menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab
mempersoalkannya karena ia wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan
لَقَدْ
تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ
لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا ِللهِ
عَزَّ وَجَلَّ
Ia telah
bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk
Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih utama dari seorang
yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah? (HR. Muslim).
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا
صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ﴿١١٠﴾
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya” (QS Al Kahfi [18]:110).
Kahfi
[18]:110).
Manakala
seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk
kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang
yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana. Karena itu, Rasulullah saw bersabda:
اَلْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan
nafsunya dan beramal bagi kehidupan sesudah mati (HR. Ahmad, Tirmidzi dan
Hakim).
Mewujudkan Hakekat Taqwa
Oleh : Abd. Aziz
Agar
pencapaian peningkatan taqwa bisa kita raih dan dapat kita buktikan dalam
kehidupan sehari-hari, menjadi penting bagi kita memahami hakikat taqwa yang
sesungguhnya. Dalam bukunya Ahlur Rahmah, Syekh Thaha Abdullah
al Afifi mengutip ungkapan sahabat Nabi Muhammad saw yakni Ali bin Abi
Thalib ra tentang taqwa, yaitu:
الْخَوْفُ
مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَاْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ
الرَّحِيْلِ وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ
Takut kepada
Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dalam at tanzil
(Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas)
dengan hidup seadanya (sedikit)
Dari
ungkapan di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus ada pada diri kita
masing-masing dan ini bisa menjadi tolok ukur keberhasilan ibadah Ramadhan
kita.
Pertama, Takut
Kepada Allah. Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah rasa
takut kepada Allah swt. Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada
binatang buas yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah
swt adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa
mendatangkan murka, siksa dan azab Allah swt harus kita jauhi. Sedangkan Allah
swt sendiri harus kita dekati, inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah
(mendekatkan diri kepada Allah).
Karena itu,
orang yang takut kepada Allah swt tidak akan melakukan penyimpangan dari segala
ketentuan-Nya. Namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang melakukan kesalahanKarena
itu, orang yang takut kepada Allah swt tidak akan melakukan penyimpangan dari
segala ketentuan-Nya. Namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang
melakukan kesalahan, karenanya bila kesalahan dilakukan, dia segera bertaubat
kepada Allah swt dan meminta maaf kepada orang yang dia bersalah kepadanya,
bahkan bila ada hak orang lain yang diambilnya, maka dia mau mengembalikannya.
Yang lebih hebat lagi, bila kesalahan yang dilakukan ada jenis hukumannya, maka
iapun bersedia dihukum bahkan meminta dihukum sehingga ia tidak menghindar dari
hukuman. Allah swt berfirman:
وَسَارِعُوا
إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾
Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali
Imran [3]:133).
Sebagai
contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat
menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang
kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu
karena kehamilan yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui
anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang
menyebabkan kematiannya, saat Rasul menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab
mempersoalkannya karena ia wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan
لَقَدْ
تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ
لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا ِللهِ
عَزَّ وَجَلَّ
Ia telah
bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk
Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih utama dari seorang
yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah? (HR. Muslim).
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ
وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا
صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ﴿١١٠﴾
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya” (QS Al Kahfi [18]:110).
Kahfi
[18]:110).
Manakala
seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk
kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang
yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana. Karena itu, Rasulullah saw bersabda:
اَلْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan
nafsunya dan beramal bagi kehidupan sesudah mati (HR. Ahmad, Tirmidzi dan
Hakim).
Langganan:
Postingan (Atom)